Tadi siang selepas shalat dzuhur di masjid kampus saya (MUI), ada ceramah singkat yang sungguh menggugah, tentang  menghargai ilmu. Tentang anjuran untuk tidak sombong dengan ilmu.

Sang penceramah mengawali ceramahnya itu dengan kisah seorang dosen matematika dengan dua gelar doktor di Universitas Al-Azhar. Gelar doktor itu dia dapatkan dari  universitas di frankfurt dan moskow. Pada suatu saat, dosen itu sedang mengajar, menjelaskan rumus2 matematikan panjang lebar di atas sebuah papan tulis yang panjangnya mencapai 10 meter (papan tulis standar di Al-Azhar katanya). Setelah selesai memenuhi papan tulis itu dengan seabreg rumus2 matematika, tiba-tiba salah seorang muridnya memberi protes pada dosennya itu. Dan protesnya tidak tanggung2, semua coret2an rumus yang tertulis di papan tulis lebar itu dihapus dan dijabarkan dari awal. Sang mahasiswa itu menunjukkan dengan rinci letak kesalahan sang dosen. Seorang mahasiswa yang belum lagi lulus S1 berani membenarkan dosennya yang punya dua gelar doktor itu. Kalau di kita, mungkin yang terpikir selanjutnya adalah “berapa NPM ni anak?”, atau “Siap2 gak lulus dah…”. Tapi ternyata sang dosen tidak memperlakukannya seperti itu. Sang dosen malah justru meng-appreciate murid tersebut dan menunjukkan rasa terima kasih yang besar pada murid itu. Minggu depannya sang dosen membawa satu bangku khusus yang dia bawa dari ruangannya dan dengan penuh hormat mempersilahkan sang murid itu untuk ikut duduk di depan membantu dia. Itu merupakan sebuah bentuk apresiasi yang besar, kata sang penceramah, ternyata hal seperti itu sudah wajar dilakukan diluar.

Kisah itu mengingatkan sang penceramah dengan kisah Imam Malik dan Imam Syafi’i. Imam Syafi’i merupakan salah satu murid dari Imam Malik. Pada suatu saat Imam Malik yang merupakan maha guru bidang hadits saat itu memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada muridnya. Imam syafi’i kala itu membisikkan semua jawaban ke teman-temannya. Akhirnya imam Malik mengetahui hal itu dan meminta Imam Syafi’i untuk duduk di depan bersama beliau. Kemudian Imam Malik mengatakan “Akhirnya kini beban saya bisa berkurang karena engkau bisa membantu ku”. Imam syafi’i dipercaya membantu Imam malik mengajarkan ilmu hadits. Itu merupakan sebuah bentuk apresiasi yang besar.

Kedua kisah diatas menunjukkan bahwa sehebat apapun seseorang, dia tak mungkin menanggung kehebatannya itu sendirian. Sepintar apapun seseorang pasti ada ilmu yang dia luput darinya. Untuk itulah, kita sebagai muslim harus menunjukkan sikap tawadhu setiap saat. Jangan pernah merasa cukup akan ilmu.

Ada seorang sahabat saya yang dulu pernah saling curhat2an sama saya. Curhat dia itu mengenai kehidupannya yang tidak sehebat dulu, dia merasa sulit sekali beradapasi dengan lingkungan barunya. Waktu itu saya cuma bisa menyarankan dia untuk membaca buku2 motivasi dan manajemen diri. Tapi beliau justru bilang “Semua ilmu di buku itu udah masuk ke otak saya”. Ada lagi satu contoh sahabat saya juga, dia ikut suatu acara semacam seminar namun dia terlihat tak acuh dengan pengisi seminarnya. Seusai acara di mengekspresikan pendapatnya akan seminar itu “apaan tuh, cuma begitu doank, gw juga tau!”.

Secara teori, mungkin orang2 seperti itu memang sudah hebat, sudah banyak ilmu yang masuk ke sela-sela sel otaknya. Namun, secara praktek, dia justru terlihat sebagai orang berpikiran sempit yang tidak bisa tawadhu dengan ilmu yang dimilikinya.

Seseorang yang hebat tidak lagi menjadi hebat manakala dia sudah mulai merasa dirinya itu hebat.

Seseorang yang pintar akan perlahan menjadi bodoh saat dia merasa dirinya sudah pintar.

So, jangan sombong dengan ilmu kawan. Sekecil apapun, ilmu itu pasti bermanfaat buat kita. Walaupun katakanlah kita udah tahu ilmu tersebut, paling tidak itu pengulangan untuk otak kita supaya ilmu itu bisa lebih mengakar dalam pikiran kita.

Jadi, jangan pernah sombong dengan ilmu 🙂